GURU GTT VS GURU SERTIFIKAS
17:13 Informasi Seputar Tenaga Honorer
Berbicara GTT maupun guru yang lolos sertifikasi, setelah kami analisis, dalam sebuah realita praktis di lapangan banyak terjadi sebuah penyimpangan, baik dalam beban kerjanya, insentif, dan lainnya. Sadarkah wahai semua guru? Ketika kami berdiskusi dengan teman-teman, banyak yang mengartikan bahwa secara beban kerja, guru GTT sebagai ’’sapi perah’’ dengan dalih mengabdi.
Hal itu sering ’’menjadi senjata’’ bagi para guru-guru bersertifikat untuk mau melakukan segala urusan administratif kependidikan. Ada juga alasan guru bersertifikat sudah ’’sepuh’’, sehingga guru GTT yang menjadi tumpuan dalam menjalankan roda pendidikan. Selain menjadi guru yang bepredikat ’’sapi perah’’ maupun ’’ujung tombok dan ujung tombak’’, dilihat dari sisi insentifnya, guru GTT juga menyandang gelar ’’Guru Tingak Tinguk (GTT)’’. Sungguh malang dan kasihan, di kala wajah berseri dan senyum menyungging di bibir guru bersertifikat, guru GTT hanya ’’tingak-tinguk’’ berbekal kata ’’sabar’’ ketika menerima gaji sudah tiba. Apakah ini bagian dari formulasi kebijakan?
Saya kira tidak, dalam formulasi kebijakan tidak ada yang namanya guru GTT. Tapi keberadaan GTT juga tidak dipermasalahkan, namun hanya kesadaran realita yang perlu idealis. Seharusnya kinerja guru bersertifikat sebanding dengan insentif yang diterima. Di lain sisi, budaya yang berkembang dalam ranah masyarakat bahwa guru GTT menjadi bagian langkah awal untuk menuju guru PNS. Sekali lagi saya belum mengetahui formulasi kebijakan yuridis bahwa bagi guru yang akan menjadi PNS harus mengabdi dulu untuk mendapat gelar sapi perah dan guru tingak-tinguk. Namun dimana keadilan jika hal ini menjadi budaya?
Seharusnya jika berdalih untuk membantu, hanya untuk latihan dan mencari pengalaman, seharusnya guru yang bersertifikat harus sadar diri dan ada kesadaran memberi dengan ikhlas sekian persen atas kinerja bagi guru GTT. Selain itu, apresiasi tidak hanya dalam wujud ranah berbicara ’’kehidupan’’. Namun dalam ranah akademika, guru yang telah lolos sertifikasi, seharusnya memberi kebebasan bagi guru GTT untuk berkreativitas dalam penerapan metoda, konsep dalam proses pembelajaran sesuai dengan SK/KD, sehingga pembelajaran tidak monoton. Dengan begitu diharapkan guru GTT dan bersertifikat mampu berkolaborasi untuk mewujudkan idealitas pendidikan dengan kesadaran diri dan kebebasan dalam proses (acuanya tetap SK/KD).
Sumber : Suara Merdeka
Hal itu sering ’’menjadi senjata’’ bagi para guru-guru bersertifikat untuk mau melakukan segala urusan administratif kependidikan. Ada juga alasan guru bersertifikat sudah ’’sepuh’’, sehingga guru GTT yang menjadi tumpuan dalam menjalankan roda pendidikan. Selain menjadi guru yang bepredikat ’’sapi perah’’ maupun ’’ujung tombok dan ujung tombak’’, dilihat dari sisi insentifnya, guru GTT juga menyandang gelar ’’Guru Tingak Tinguk (GTT)’’. Sungguh malang dan kasihan, di kala wajah berseri dan senyum menyungging di bibir guru bersertifikat, guru GTT hanya ’’tingak-tinguk’’ berbekal kata ’’sabar’’ ketika menerima gaji sudah tiba. Apakah ini bagian dari formulasi kebijakan?
Saya kira tidak, dalam formulasi kebijakan tidak ada yang namanya guru GTT. Tapi keberadaan GTT juga tidak dipermasalahkan, namun hanya kesadaran realita yang perlu idealis. Seharusnya kinerja guru bersertifikat sebanding dengan insentif yang diterima. Di lain sisi, budaya yang berkembang dalam ranah masyarakat bahwa guru GTT menjadi bagian langkah awal untuk menuju guru PNS. Sekali lagi saya belum mengetahui formulasi kebijakan yuridis bahwa bagi guru yang akan menjadi PNS harus mengabdi dulu untuk mendapat gelar sapi perah dan guru tingak-tinguk. Namun dimana keadilan jika hal ini menjadi budaya?
Seharusnya jika berdalih untuk membantu, hanya untuk latihan dan mencari pengalaman, seharusnya guru yang bersertifikat harus sadar diri dan ada kesadaran memberi dengan ikhlas sekian persen atas kinerja bagi guru GTT. Selain itu, apresiasi tidak hanya dalam wujud ranah berbicara ’’kehidupan’’. Namun dalam ranah akademika, guru yang telah lolos sertifikasi, seharusnya memberi kebebasan bagi guru GTT untuk berkreativitas dalam penerapan metoda, konsep dalam proses pembelajaran sesuai dengan SK/KD, sehingga pembelajaran tidak monoton. Dengan begitu diharapkan guru GTT dan bersertifikat mampu berkolaborasi untuk mewujudkan idealitas pendidikan dengan kesadaran diri dan kebebasan dalam proses (acuanya tetap SK/KD).
Sumber : Suara Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar