JAKARTA--Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
dari tenaga honorer menjadi dilema polemik yang berkepanjangan. Rancangan
Peraturan Pemerintah untuk pengangkatan itu sudah di meja Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Namun sayang, belum juga diteken. Masalah ini sudah dari 2009. Hingga 2011
masih belum juga tuntas. Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI
Perjuangan, Ganjar Pranowo, getol menyuarakan agar pemerintah membereskan
permasalahan ini.
"PP ini sudah di meja presiden, tinggal di teken saja. Tapi sampai
sekarang belum diteken. Lantas, permasahan ini menandakan bentuk pengingkaran,
dan lemahnya komitmen politik pemerintah menyelesaikan ini," kata
Ganjar Pranowo, kepada JPNN, Kamis (3/11).
Berikut petikan wawancara wartawan JPNN, M. Kusdharmadi (JPNN) dengan Ganjar
Pranowo (GP):
JPNN: Anda dan PDI Perjuangan begitu getol memerjuangkan permasalahan
tenaga honorer yang belum juga diangkat sebagai CPNS ini. Sampai saat ini sudah
sejauh mana bentuk perjuangan itu?
GP: Sebenarnya kita harus melihat sisi banyak hal. Mereka (tenaga
honorer) sendiri selama ini tidak terakomodasi. Banyak mereka datang
mengadu kepada kami. Kita pun memperjuangkan yang realistis. Kita sudah meminta
rapat gabungan dengan beberapa kementerian. Kemudian rapat dengan komisi. Lalu
muncullah lima kelompok itu. Karena tidak memungkinkan lima kelompok diangkat
semua, kita lakukan kompromi secara politik.
Lalu masuk beberapa kategori dan muncullah kategori I (dibiayai dengan APBN dan
APBD) dan II (dibiayai di luar APBN dan APBD). Lalu treatment kedua
sayang pemerintah tidak melirik hal ini. Padahal mereka (tenaga honorer)
ini istilah kita tercecer.
Seperti di Jawa Tengah mereka (tenaga honorer) seperti teranulir, sudah ikut
tes, kemudian lulus tapi dibatalkan. Ini harusnya menjadi jawab negara. Bukan
mereka (tenaga honorer) yang harus jadi korban. Dan yang buat pengumuman (tes)
juga harus disalahkan. Kalau bisa diberi sanksi. Ini yang mau kita bereskan.
Kita juga bisa gunakan pendekatan kesejahteraan. Saat Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dijabat Taufik Effendi, sudah sepakat kalau tidak harus melihat
sebagai PNS-nya. Tapi pendekatan kesejahteraan. Maka mereka diberikan
pendapatan dengan jaminan sesuai UMR.
Minimal kalau sakit tidak bayar. Ini sebenarnya sangat mudah, hanya pekerjaan
financial enginering. Tapi, pemerintah tidak merespon. Padahal, banyak
honorer itu bagus, kendati banyak juga titipan. Yang bagus misalnya, guru yang
bertugas di remote area, nah itu tidak diperhatikan. Harusnya yang puluhan
tahun layak diangkat, kendati mesti tetap selektif.
JPNN: Jumlah tenaga honorer yang diajukan untuk diangkat sebagai CPNS
mencapai 65 ribu. Kalau semua diangkat apa dari sisi anggaran tidak memboroskan
keuangan negara?
GP: Kalau bicara boros atau tidak kita ini relatif masuk kategori oke.
Singapura jauh di bawah kita. Kita indeks pelayanan masih oke. Memang kalau
perhitungan boros atau tidak boros boleh saja. Namun, PNS ini sudah jadi
lapangan kerja. Karena tidak ada lapangan kerja lain. Kalau di luar lapangan
pekerjaan ada, mereka tidak akan berbondong-bondong ingin menjadi PNS. Cuma kan
lapangan pekerjaan tidak ada.
Di sini bagaimana peran (Kementerian) Perindustrian, Perdagangan dan Tenaga
Kerja soal ini. Kita, kalau honorer yang sudah lama, usianya juga sudah layak,
prestasinya bagus kita perjuangkan. Kita tidak bicara jumlah. Ketika diminta
pendataan muncul angka segitu (65 ribu).
Cuma, pengelolaan Sumber Daya Manusia oleh sektor yang menggunakan mereka mesti
dikoordinasikan. Maksudnya, kalau ada jumlah PNS di suatu daerah terlalu gemuk,
dan rasio pelayanan publik cukup, tidak usah nambah. Kalau lebih dipindahkan.
Tapi PNS terlanjur masuk kota yang menjalankan otonomi daerah, tidak bisa
digeser.
Harusnya kebijakannya kalau melebihi kapasitas, pindahkan ke daerah lain.
Minimal daerah otonom baru. Sehingga kebijakan ini seolah-olah berdiri sendiri,
tidak demikian. Harus ada turunan atau pengaruh. Ada urutan pengelolaan
berikutnya.
JPNN: RPP untuk pengangkatan tenaga honorer yang tertinggal menjadi
CPNS kabarnya sudah di meja presiden. Sekarang bagaimana nasib RPP, itu?
GP: Pemerintah tidak terlalu serius. Bercanda ini pemerintah. Lima
kategori, oke, kalau tidak mampu akhirnya kita sepakati. Kalau semua mau, dulu
bisa sampai 1 juta yang harus diangkat. Nah, kita berikan masukan sebuah
dorongan pemerintah untuk mengganti PP-nya. Karena PP bukan wilayah DPR tapi
pemerintah. Kebutuhan politik, anggaran, kita siapkan.
RPP ini sudah di meja presiden tinggal di teken saja. Lantas permasahan ini
merupakan bentuk pengingkaran dan lemahnya komitmen politik pemerintah.
Ya pakai perasaanlah, dengarkanlah mereka (tenaga honorer), apa masalah
mereka. Kalau perlu saat pengangkatan itu diikuti kontrak, kalau tidak bersedia
ditempatkan di seluruh Indonesia, ditendang. Itu sudah kita omongkan.
JPNN: Artinya tidak ada political will dari pemerintah?
GP: Politivcal will tidak ada. Masalah ini sudah sejak 2009, akhirnya
kita dipakai untuk kepentingan politik. Bayangkan sekarang sudah 2011 tapi
belum beres juga. Nasib mereka (tenaga honorer) ini ngeri betul.
JPNN: Ke depan bagaimana ?
GP:Nanti Undang-undang ASN (Aparat Sipil Negara) pengganti Undang-undang
Kepegawaian lahir, tidak ada lagi tenaga honorer. Kebijakan itu diakhiri. Saat
ini kita rapat kerja terus, habis reses akan dilanjutkan pembahasan RUU ASN.
Pemerintah sudah mengajukan DIM (Daftar Isian Masukan). Nanti itu, adanya masuk
sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT). Kalau mereka honorer, tidak ada kepastian.
Syukur-syukur kalau bisa direkrut. Nanti honorariumnya seolah-olah mereka
dibayar seperti pemagang. Jadi seperti sambil magang tapi dibayar. Itu konsep
yang saya bicarakan panjang lebar dengan pemerintah. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar